Ahlan

Rabu, 30 Desember 2009

Cerpen1: Ibu, Jangan Datang!

oh ya ini cerpen yang ikutan pas lomba cerpen se bandung, dan karena batasannya 7 halaman jadi cuma sedikit dan belum di edit lagi... hheeee

***********************

Hari pembagian rapot adalah hari yang paling menegangkan, sekaligus yang paling di nanti oleh semua anak termasuk aku. Entah kenapa rasanya hal itu selalu membuat aku tak bisa tidur tenang karena membayangkan hasil rapot kali ini. Biasanya prediksiku mengenai hal ini tidak pernah salah yaitu, peringkat 1 di kelas. Pasti.

Setiap waktu pembagian rapot, semua anak pasti ingin didampingi oleh orang tua mereka, sedangkan sebagian kecil lainnya didampingi oleh wali masing-masing. Jika semua anak ingin didampingi oleh orang tua nya, maka tidak dengan ku. Justru sebaliknya aku tidak ingin didampingi oleh orang tua ku, khususnya Ibu ku.

Mungkin terdengar cukup kejam ketika aku mengatakan kalimat “jangan datang ke pembagian rapot” kepada kedua orang tua ku. Kalau bapak, beliau pasti sulit untuk datang karena pekerjaanya. Tapi untuk ibu, ibu pasti selalu bisa meluangkan waktunya untuk menghadiri acara sekolah anak-anaknya. Padahal mereka tidak akan malu jika mereka datang ke sekolah, karena aku bukan anak yang selalu berprestasi di bidang kenakalan dan bukan juga orang yang selalu dikenal karena nilai nya yang merah. Sebaliknya aku dikenal sebagai murid teladan yang sempat mendapat juara umum se kota Garut pada waktu kelas 3 Tsanawiyyah. Aku mengerti orang tua ku, terutama Ibu ku ingin mendengar ketika nama anaknya dipanggil sebagai murid yang mendapatkan peringkat yang baik dan ingin mendengarkan ucapan-ucapan selamat dari para guru dan orang-orang yang duduk di sekitarnya yang mengetahui bahwa aku adalah anak Ibu.

Namun sekali lagi, ada satu hal yang menjadi alasanku untuk tidak mengajak Ibu menghadiri pembagian rapot ku. Dan entah mengapa hal ini terulang lagi ketika aku mengambil buku rapot ku dengan Ibuku. Aku juga tak mengerti mengapa bisa terjadi. Apakah kutukan? Bukan! Mempercayai itu sama saja seperti musyrik. Lalu kata apa yang tepat untuk mengungkapkannya? Yang jelas itu adalah Takdir. Yaitu setiap aku mengambil rapot ku dengan Ibu, maka saat itu aku bukanlah pemegang peringkat pertama. Pastinya turun satu poin, tak kurang tak lebih.
Tepatnya pada saat aku kelas 2 Tsanawiyyah semester 2, saat itu aku meminta Ibu ku untuk menemaniku mengambil rapot ku. Aku berani mengajak ibu karena aku yakin aku akan mendapatkan peringkat pertama lagi. Karena selama pengambilan raport pada 5 semester yang lalu aku selalu mendapatkan peringkat pertama. Karena dalam otakku aku tidak ingin mengecewakan Ibuku yang selama ini selalu menyemangatiku lebih dari siapapun.

Tapi rasa percaya diriku luntur seketika ketika aku mendengar peringkat pertama yang biasa ku pegang kini berpindah tangan pada sahabatku sendiri atau lebih tepatnya sepupu ku, yang selama ini selalu setia di posisi kedua. Posisi yang selama ini ia tempati dan sekarang menjadi posisiku mutlak. Biasanya yang terdengar adalah nama “Reni Hikmatunnisa” sekarang menjadi “Restu Munawwirullail”. Entah mengapa hal itu bisa terjadi, tapi pada semester berikutnya peringkatku kembali naik dan terus bertahan hingga selesai di bangku Tsanawiyyah, tapi itu pun Ibuku tidak mendampingiku ketika pengambilan rapot. Tapi hal itu terjadi tidak hanya satu kali saja! Pada kesempatan yang lain tepatnya kelas 1 semester 2 Mu’allimin, ketika aku kembali mengambil rapot ku dan kembali ditemani oleh Ibu, hal serupa terjadi lagi. Dan lagi-lagi yang bmerebut posisi tersebut adalah Restu, sepupu ku sendiri. Hal ini cukup mengejutkan karena kemarin aku mendapatkan peringkat ku seperi biasa. Tapi sekali lagi, hari itu yang tersenyum lebar bukanlah aku, tapi sepupu ku, sedangkan Ibu hanya bisa bersyukur atas apa yang didapat oleh ku yang sebenarnya cukup membuat Ibu sedikit kecewa. Walaupun Ibu berkata tidak apa-apa, tapi aku merasa sangat malu karena tidak bisa membanggakan Ibu semaksimal mungkin seperti biasanya.

Saat ini aku menduduki bangku kelas 3 Mu’allimin atau setara dengan kelas 3 SMA. Saat ini adalah saat yang paling menggemparkan semua anak, karena nilai minimum UN adalah 5. memang angka yang masih relatif aman dan dapat di jangkau, tapi bagi sebagian orang yang malas pasti sedang kelimpungan. Aku yang mentargetkan diri untuk mendapatkan nilai yang baik berusaha belajar lebih dari biasanya. Lalu aku pun paling bersemangat ketika guru membahas soal-soal prediksi ujian.
Lalu hari yang dinanti pun tiba, perasaan tegang sangat terasa ke sekujur tubuhku. Tapi, do’a ibu dan dukungan dari keluarga, teman-teman, dan guru cukup menguatkan ku untuk menghadapi hari-hari penuh pertaruhan itu. Ditengah perjalanan pulang bersama Restu, kami saling membicarakan tentang sebagian soal-soal yang baru saja di kerjakan tadi.
“Ren, kali ini siapa ya yang bakalan jadi si ‘jawara’? anti atau ana ya?”
“Wah.. iya juga ya! Ana sampe gak mikirin itu saking pusing mikirin soal-soal tadi. Siapa ya? Pengennya sih ana! Heheheheh”
“Optimis nih? Gimana kalau ana aja deh! Biar ukti istirahat aja gak usah cape ngejar target! Hihihihih, bercanda deh! Tapi serius loh ana bisa ngerebut posisi nya dari anti!”
“Wah,, bahaya nih… Oke deh kita bersaing aja! Siapa yang menang dia yang hebat! Setuju?”
“Setuju!”

Setelah hari itu, aku semakin terpancing untuk memenangkan nilai terbaik itu. Hingga akhirnya tiba hari ‘Haflah’ atau dikenal sebagai Pensi. Acara ini diadakan 2 hari sebelum pembagian rapot sebagai ajang pelepas penat dan ketegangan para siswa. Lalu dalam sesi tabligh akbar yang diisi oleh Ust. Aam Amiruddin, Beliau memberikan materi yang cukup menyinggungku. Beliau membahas tentang ‘membanggakan orang tua’. Kata-katanya seolah menegurku, menegur kelakuanku yang selama ini selalu melarang agar ibu tidak datang ke acara pembagian rapot.
“Orang tua kita terutama Ibu, adalah orang yang paling berjasa bagi kita. Karena hingga saat ini kita masih bisa berada disini dengan pakaian yang kita kenakan, itu semua dari orang tua kita. Kondisi tubuh kita pun menjadi sehat berkat beliau. Bahkan setiap sel-sel di tubuh kita itu bisa berkembang semua berkat orang tua kita. Jadi sebagai balasannya untuk mereka adalah kita menjadi orang yang terbaik yang dapat melakukan hal yang baik, yang berusaha sebaik mungkin. Sebagai pembuktian bahwa kerja keras orang tua kita tidaklah sia-sia. Berikanlah hal yang terbaik dan tidak mesti dengan uang! Karena uang bukanlah sumber kebahagiaan. Yang paling berharga bagi mereka dalam usia kalian adalah PRESTASI. Orang tua akan bangga bila melihat anaknya dapat mencapai sebuah prestasi yang walaupun menurut kalian itu bukan apa-apa, tapi menurut mereka itu adalah hal yang membanggakan”.
Mendengar hal itu aku jadi mendapatkan sedikit keberanian untuk mengajak ibu untuk mendampingiku mengambil rapot ku, karena aku sangat yakin aku akan mendapatkan peringkat teratas!

Esoknya, saat aku akan pergi ke sekolah entah kenapa muncul lagi perasaan aneh itu lagi. Aku tidak ingin ibu ku mengantarku ke sekolah. Ibu sudah berulang kali membujukku agar Ibu bisa ikut dengan ku ke sekolah, namun aku pun menolaknya dengan perkataan “Ibu jangan datang! Hasilnya pasti baik kok” berulang kali hingga akhirnya untuk meyakinkan Ibu aku meminta bibi atau lebih tepatnya Ibunya Restu yang menggantikan Ibu. Ibu pun setuju walau berat hati karena tahu ini adalah hari yang sangat bersejarah bagiku. Tapi dibalik kata yang aku ucap tadi, sebenarnya aku melarang ibu karena aku takut peringkatku turun lagi seperti waku itu lagi dan membuat ibu sedih.

Sesampainya di sana aku langsung meleburkan diri dengan teman-temanku yang sedang merasakan dag-dig-dug luar biasa. Lalu ketika waktu pengumuman, semuanya terlihat tegang. Tanpa di sadari aku pun mulai menggumam menyebutkan nama ku sendiri. “Reni Hikmatunnisa, Reni Hikmatunnisa”….. Lalu terdengar suara Ust. Farid yang mengumumkan peringkat santri.
“Syukur Alhamdulillah, pemegang peringkat pertama kali ini juga, menjadi pemegang peringkat ke 3 juara umum se-Garut! Subhanallah luar biasa”. Kalimat tadi di sambut oleh gemuruh tepuk tangan para orang tua dan murid yang merasa bangga terhadap siapapun yang mendapat peringkat tersebut.
“Pemegang peringkat ini adalah ukhti Reni Hikmatunnisa! Mari kita persilahkan saudari kita ini menuju panggung untuk menerima penghargaan!”.
Mendadak sekeliling ku riuh oleh gemuruh tepuk tangan, aku benar-benar tak menyangka bisa mendapatkan posisi ini. Teman-temanku mendorong ku untuk maju ke panggung untuk menerima penghargaan dari sekolah. Kaki ku melangkah dengan cepat menuju panggung, tapi aku merasa ada yang kosong, yaitu tidak ada orang tua yang mendampingi. Sedih memang, tanpa terasa air mataku bercucuran ketika menerima penghargaan. Bukan karena senang, tapi karena sedih Ibu tidak ada di sini. Seandainya tadi aku mengajak ibu menghadiri acara ini, pasti beliau bangga anaknya bisa seperti ini. Ketika ditanya yang mana Orang tua nya, aku hanya bisa menjawab “di rumah”. Semua orang terllihat heran karena sedikit kemungkinan untuk orang tua yang mempunyai anak yang pintar, maka kubilang mereka sedang sibuk. Semua orang tampak mema’lumi tapi sebenarnya aku sangat menyesalkan hal ini, sangat. Sehingga hari itu yang memberikan beberapa kata di panggung bukanlah orang tuaku, tapi wali kelas ku sendiri.

Setibanya di rumah, aku menceritakan semua kejadiannya. Ibu menangis karena menyesal telah melewatkan waktu yang sangat bersejarah bagiku. Ini memang salahku, dan aku sangat menyesal akan hal ini. Rupanya perbuatanku itu jauh lebih membuat ibu sedih daripada peringkat ku turun, walau sebenarnya bagi Ibu tidak masalah jika peringkat ku turun. Jika bisa mengulang waktu, aku akan mengulangnya dan mengajak ibu bahkan semua anggota keluargaku untuk menghadiri acara itu. Ibu, maaf aku telah mengatakan hal yang seharusnya tidak ku katakana sebagai balas budi ku kepada mu. Mungkin memang keterlaluan tapi maafkan aku..

Sekarang, di sudut kamar apato ku, hanya bisa mengingat kesalahan ku yang lalu. Tapi berkat mu juga aku bisa menginjakkan kaki di negri sakura ini. Di tengah musim semi ini, aku berjanji tak akan melupakan keluargaku, orang tuaku, terutama ‘Ibu’ yang telah mengorbankan separuh hidupnya untuk anak-anaknya. Aku akan berusaha di sini dan aku bertekad akan membawa orang tuaku hadir di acara wisuda S2 ku di sini, walau itu berarti aku harus kerja part-time lebih banyak. Love you mom!

**************

Ukhti: Saudari ku
Ana: Saya
Haflah: Acara Pensi yang biasanya diadakan setelah ujian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar