Tahun terakhir di Al Azhar Tanta merupakan tahun yang menegangkan sekaligus tahun yang menyenangkan. Menegangkan karena akan melewati ujian-ujian kelulusan, termasuk menguji hafalan 4 juz. Menyenangkan karena sebentar lagi akan pulang ke tanah air tercinta, melepas rindu dengan abah dan umi setelah 5 tahun tidak berjumpa, bukan waktu yang singkat.
Sabtu pagi di musim dingin menghadirkan suasana yang agak senyap di kota delta sungai Nil kecil, burung-burung tampak bermalas-malasan di pohon taman kota sedangkan para manusia sibuk dengan urusannya masing-masing. Udara dingin benar-benar membuat air seperti larutan yang menyiksa, dingin menggigil. Untuk wudlu saja rasanya cukuplah satu kali sehari. Sendiri di flat merupakan hal yang menyebalkan, apalagi di negeri orang yang asing bagi kami yang lahir di negara khatulistiwa nan hijau. Semua ini benar-benar membuatnya makin rindu rumah, home sick.
Pukul 08:00 di Mesir sama dengan pukul 13:00 di Indonesia. “Ahh.. semoga ada orang rumah yang online.” Pengobat rindu rumah yang murah dan efektif bagi mahasiswa luar negeri hanya internet, sedangkan telepon hanya untuk keperluan yang mendesak atau jika kamu benar-benar home sick sampai demam tinggi atau yang lainnya.
Membuka Yahoo Messanger merupakan ritual yang wajib dilakukan, setelahnya baru Facebook. Hmmmm tampaknya siang ini indonisiyun sedang sibuk. “masa dari 7 sodara gak ada satupun yang online?”
“Plop” suara yang berarti ada orang yang baru saja online. “Alhamdulillah.. A Hafidz!!” tanpa panjang lebar akupun segera menyapanya. “mudah-mudahan lagi di rumah” dalam hati.
“Salam ‘alaik A!!
“’Alaikumussalam de, damang?”
“Alhamdulillah A, sedikit home sick. Asa keeung (-_-)” maksudnya terasa sepi, sunyi senyap.
“Emang yang lainpada kemana Dho? Aa dirumah sama teteh… Heheheh ”
“Pada kuliah, ana lagi hari tenang. Sono ihh..” maksudnya “kangen ihh”
“Sono ka saha?”
“Abah + Umi + sadayana nu dibumi wee”
“Abah + Umi + semua yang dirumah..”
“Sadayana? Tembok + tangkal jambu oge nya? Hihihihihh”
“Semuanya? Tembok + pohon jambu juga ya? Hihihihihi”
“Eh si aa, serius yeuh!! Abah en Umi sehat a?”
“Alhamdulillah sehat, emang bade naon kitu mun sono? Kan aya guling. Hahah”
“Alhamdulillah sehat, emang mau apa gitu kalo kangen? Kan ada guling. Hahah”
“Ari Aa damang?!! ”
“Hooo ngambek! Ishlah ah! Hehhe. De gaduh web cam kan? Web cam-an yu! Aa nembe meser kamari di pameran!”
“Hooo ngambek! Ishlah ah! Hehhe. De punya web cam kan? Web cam-an yu! Aa baru beli kemaren di pameran!”
“Oh hayu wae, nu ade mah tos dipasang, aa tos masang tacan?”
“Oh ayo aja, yang ade udah dipasang, aa udah dipasang belum?”
“Okeh siap, tapi de aa dandan heula nya sakedap”
“Ah ogay! Sip lah”
Beberapa menit kemudian akhirnya web cam pun tersambung. Ahh apa yang beda dengan kakanya? Tampak tidak ada. Ridho pun dapat sedikit tersenyum karena dapat melihat wajah kakaknya secara langsung. Oh betapa gagahnya ia meski sambil menggendong Funa anaknya yang masih balita, dibelakangnya ada sesosok wanita yang tampak ramah, itu teh Yanti istrinya. Latar dinding yang tampak di layar sangat familiar bagi Ridho. “Oh itu rumah Abah!.” Tembok ruang tamu yang berwarna hijau dengan kursi kayu jati yang dulu sering ia duduki sepulang sekolah untuk sekedar bersantai atau menghapal pelajaran. Benar-benar tempat yang penuh kenangan. Suara kakaknya memecah lamunan nostalgianya.
“Ade? Bengong kaya bangkong. Heheh” bangkong itu kodok
“Eh iya a! Aa dibumi Abah geuning?”
“kantenan, kan libur” di layar tampak Funa sedang berusaha untuk menyentuh layar laptop abi nya sambil bertanya “Bi tui tiapaaa??” maksudnya “Abi itu siapa?.” Ahh lucunya anak berumur 2 tahun itu. Ridho sedikit miris karena keponakannya tidak mengenalnya.
“Itu mang Ridho neng”
“Man doo, bi?” cara bicara Funa kontan membuat Ridho tertawa lepas, sedangkan Abi dan Uminya hanya tersenyum geli sambil berusaha menjelaskan kepada Funa cara melafalkan kata Ridho.
“Oh ya a, abah umi mana? Kok sepi sih, pada kemana emang?”
“Abah Umi pergi, yang lain juga mencar-mencar tuh”
“Ahhhh..” mendengar itu Ridho kontan lemas. Orang yang paling ingin dia temui tidak ada. “Kapan pulangnya?”
“Abah Umi pulangnya malem de, kalo yang lain paling sore-an” mendengar kata ‘malam’ semakin memadamkan harapannya untuk bertemu dengan Abah dan umi.
“Eh de, gimana studinya? Ada kemungkinan mumtaz gak nilainya”
“kalo ikhtiar sih dirasa udah mantep banget. Tinggal tawakalnya nih, mudah-mudahan bisa ngantongin nilai mumtaz. Pidu’ana” maksudnya minta do’anya
“Aamiin ya Rabb! Semoga anakku ini mampu lulus dengan baik ya Allah”
Oh suara yang sangat ia rindukan, suara yang dulu selalu mengingatkan ia dan saudara laki-lakinya untuk sholat di masjid, laki-laki pendiam dengan suara yang selalu mendukungnya, suara yang selalu mendo’akan anak-anaknya dalam setiap sujudnya. “Suara Abah!!”
“Damang Ridho??” suara ini, suara wanita yang paling ia hormati dalam hidupnya, wanita yang ia jadikan sosok teladan.
“Alhamdulillah bah. Ahh abah umi, saurna nuju angkat?”
“Atuh ade mah kan surprise! Hhhehehehhahah” ternyata maksud kata ‘aa mau dandan’ itu maksudnya abah dan umi diminta siap-siap.
“Abah Umi damang?”
“Alhamdulillah, kumaha Dho diditu? Umi tampak berkaca-kaca menahan haru
“Musim dingin mi, lumayan lah baju harus dobel. Tapi makan juga dobel. Heheh”
“Dho, cepet pulang nak” air mata sudah tak terbendung lagi, umi mulai menitikkan air mata
“IsnyaAllah mi begitu beres langsung pulang. Eh tapi mungkin pulangnya ba’da musim haji. InsyaAllah tahun ini, alhamdulillah dapat undangan dari Allah”
“Subhanallah!! Abah do’akan lancar”
“Wah de kamu anak pertama di keluarga yang haji dong! Hebat euy!!” Hafidz menyelang pembicaraan
“Heheeh alhamdulillah”
Pembicaraan yang mengharukan berlangsung cukup lama, meski dengan jeda sekitar 5 detik per bicara sehingga kadang pembicaraan tampak aneh karena ada jeda untuk diam. Tapi semua itu cukup mengobati home sick nya, ditambah tak lama setelah itu saudara-saudaranya yang lain datang dan langsung menghampiri laptop Hafidz untuk sekedar bercakap dengan Ridho. Pertanyaan yang beragam mewarnai pembicaraan, dari masalah kehidupan disana hingga masalah yang paling gencar dibicarakan kakak-kakaknya yaitu: “kapan nikah de?” atau “udah nemu calon de?” juga “mau dicariin?” dsb.
Tak terasa pertemuan lewat dunia maya tersebut memakan waktu hingga 4 jam lamanya. Oh waktu di Indonesia sudah menunjukkan pkl. 5 petang, sedangkan di Mesir baru pkl. 12 siang yang artinya masih ada kegiatan lain yang harus di lakukan. Hampir saja lupa ada kuliah siang jam 1, akhirnya Ridho pun mengakhiri pembicaraan tersebut dan tampaknya keluarga di sebrang sana juga sudah tampak lelah dan mempersiapkan diri untuk malam. Pembicaraan itu diakhiri oleh do’a umi yang mengharapkan agar anaknya bisa mendapatkan yang terbaik juga agar bisa segera pulang ke Indonesia juga senyuman bangga abah dan dukungan dari saudara-saudaranya agar ia sukses dalam studinya. Air mata pun tak terelakkan lagi. Pertemuan singkat itupun menjadi pengobat rindu seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang berjuang untuk masa depannya. Semangat kembali memenuhi hati lelaki ini untuk terus berusaha sebaik mungkin agar bisa membanggakan orang tuanya.
Waktu menunjukkan pukul setengah satu, setelah mempersiapkan segala keperluan kuliahnya, ia bergegas keluar dari flatnya dan berjalan dengan penuh kesiapan, kesiapan untuk menghadapi segala rintangan yang akan ia temui di luar sana. Dengan harapan ia akan dapat menjadi orang yang sanggup menghadapi tantangan dan perubahan jaman, untuk hari ini dan seterusnya. Allahumma Aamiin.
Bandung, 24 Desember 2009.
Bismillah
BalasHapusSubhanAllah gaduh blog ni.....
Dshe let's Share together,kita saling bantosan didunia maya yu ???
Dshe gabung ke jejaring HG atuh,en sekalian punten pang sebarin jejaringnya,seorang satu klik en gabung dah Alhamdulillah,betul bu....
gabung nya ka http://ghuraba.ning.com/
Jazaakumullah....
siip lah, kela ana kirang ngartos :P dipahami hela,,,
BalasHapus